FRANS KAISIEPO
Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo adalah pahlawan nasional Indonesia dan elite terdidik Papua Angkatan pertama. Ia lahir 10 Oktober 1921 di Pulau Biak, dari pasangan Albert Kaisiepo dan Alberthina Maker. Meskipun berasal dari pedalaman Biak, Frans Kaisiepo dibesarkan dalam pendidikan kolonial. Hal tersebut sangat dimungkinkan, mengingat garis klan ayahnya seorang kepala suku Biak Numfor dan pandai besi. Frans Kaisiepo menikah dengan Anthomina Arwam. Dalam perkawinannya, Frans Kaisiepo dan Anthomina Arwam dikarunia tiga anak. Pasangan ini hidup bersama hingga Anthomina Arwam meninggal. Atas kematian Arwan, Frans Kaisiepo kemudian menikah lagi pada 12 November 1973. Frans Kaisiepo menikah dengan Maria Magdalena Moorwahyuni seorang perempuan Demak, Jawa Tengah. Pernikahan yang kedua kalinya ini, mereka dikaruniai satu orang anak.1945, ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans Kaisiepo salah seorang yang menegakkan eksistensi Republik Indonesia, sekaligus sebagai orang pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Papua.
. Frans juga ikut terlibat dalam Komite Indonesia Merdeka (KIM). Ketika Marthin Indey dan lainnya berusaha berontak di Jayapura, Frans berada di Biak, di mana dia menjadi Kepala Distrik Warsa, Biak utara. Jarak antara Biak dengan Jayapura kira-kira 40 menit dengan pesawat menyeberangi lautan. Meski jauh dari pergerakan di sekitar Jayapura, Frans tetap mempertahankan keindonesiannya dengan mendirikan Partai Indonesia Raya (PIM) pada 10 Juli 1946. Frans Kaisiepo sebagai kepala distrik berpengaruh di Biak, pemerintah NICA Belanda tentu merasa perlu untuk dekat dengan Frans Kaisiepo. Namun, NICA tidak bisa mengambil hati Frans Kaisiepo. Frans Kaisiepo sering diajak dalam forum-forum yang melibatkan Belanda di Indonesia Timur.
Pada 18 Juli 1946, Frans Kaisiepo memainkan peranannya di Malino Sulawesi Selatan dengan penuh semangat. Sebagai delegasi dari Papua, Frans Kaisiepo pada kenyataannya tidak selalu mewakili kepentingan Belanda. Frans Kaisiepo mendukung wilayah Papua diintegrasikan ke dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Namun, Frans Kaisiepo menolak apabila Papua berada di bawah karesidenan Maluku dan menghendaki agar wilayah itu dipimpin orang-orang Papua sendiri. Selain itu, Frans Kaisiepo juga memperkenalkan kata Irian, yang berasal dari bahasa asli Biak. Irian berarti panas yang diserap dari tradisi pelaut Biak. Biasanya, pelaut Biak yang hendak menuju Pulau Papua selalu mengharapkan panas matahari untuk melenyapkan kabut yang menyelubungi daratan, artinya bahwa Irian juga cahaya yang mengusir kegelapan.
Frans Kaisiepo mengusulkan agar nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea yang dipakai saat itu diganti dengan Irian. Sebab, kata “Papua” sebutan pendatang asal Maluku, Pua-Pua yang berarti keriting–yang kesannya merendahkan orang-orang lokal. Kata Irian kemudian dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut Indonesia Anti Nederlands”.
Pada malam harinya, Frans Kaisiepo berpidato selama kurang lebih satu jam yang dilansir radio Makassar. Namun, prasarana Frans Kaisiepo di Malino tidak mendapat dukungan dari Belanda. Wakil-wakil Indonesia juga menanggapinya dengan sebuah penolakan. Bagi pemerintah Belanda, sikap Frans Kaisiepo mengejutkan dan di luar dugaan. Residen Papua, Van Eechoud, yang kesal menyatakan bahwa ucapan Frans Kaisiepo tentang Irian tidak lebih sebagai bentuk ‘Chauvinisme Biak’. Sehingga, pelaksanaan konferensi-konferensi berikutnya, tidak ada lagi delegasi yang mewakili Papua. Kepastian masa depan Papua dalam negara federal tidak menemui titik terang. Keadaan ini terus berlanjut hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar 1949. Sementara itu, karena ulahnya di Malino, pemerintah Belanda menepikan Frans Kaisiepo. Frans Kaisiepo dibungkam dengan cara disekolahkan selama lima tahun di Sekolah Pendidikan Pamong Praja atau Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA). Antara 1954-1961, Frans Kaisiepo ditugaskan di distrik-distrik terpencil seperti di Ransiki, Manokwari, Ayamu-Taminabuan, Sorong, dan di Mimika, Fak-fak.
Pada Agustus 1947, Silas Papare memimpin pengibaran bendera Merah Putih Indonesia untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Tindakan ini mengakibatkan penangkapan semua peserta oleh polisi Belanda. Mereka dikurung selama kurang lebih tiga bulan. Selama itu Frans Kaisiepo dan Johans Ariks mengambil peran Papare. Johans kemudian mengetahui rencana untuk mengintegrasikan Irian Barat sebagai wilayah Indonesia, alih-alih mengembangkan otonominya.
Pada bulan Maret 1948, Frans Kaisiepo terlibat dalam pemberontakan terhadap pemerintah Belanda di Biak. Pada tahun 1949, Frans Kaisiepo menolak penunjukan sebagai pemimpin delegasi Nugini Belanda dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia, karena Frans Kaisiepo merasa Belanda berusaha mendikte dia. Karena perlawanannya, Frans Kaisiepo dipenjarakan dari tahun 1954-1961. Setelah bebas dari penjara pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan Partai Irian yang berupaya menyatukan Nugini Belanda dengan Republik Indonesia, yakni partai politik Irian Sebagian Indonesia (ISI). Tujuan partai ini menuntut penyatuan Papua ke dalam Republik Indonesia. Melalui ISI, Frans Kaisiepo berperan dalam membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika.
Di tahun yang sama, Presiden Sukarno berpidato yang mendirikan Trikora (Tri Komando Rakyat), 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Ada tiga hal yang menjadi tujuan komando tersebut, yakni: (1) membatalkan pembentukan “negara Papua” yang diciptakan oleh kekuasaan kolonial Belanda, (2) mengibarkan bendera Indonesia di Irian Barat, dengan demikian menegaskan kedaulatan Indonesia di daerah tersebut, dan (3) mempersiapkan mobilisasi untuk mempertahankan kemerdekaan dan penyatuan tanah air. Hasil dari pidato itu, banyak yang memilih untuk mendaftar di angkatan bersenjata sebagai bagian dari Operasi Trikora. Sejak pengakuan kedaulatan, wilayah Papua disengketakan antara Indonesia dan Belanda. Belanda menangguhkan penyerahan wilayah ini karena kepentingan politik dan ekonomi. Indonesia mendapat pengakuan atas wilayah Papua dalam Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.
Pengalihan penyelenggaraan pemerintahan ke UNTEA dilakukan 1 Oktober 1962. Satu tahun kemudian, yakni 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan pengalihan Irian Barat ke Indonesia. Sementara itu, pemerintah Indonesia akan diserahi tugas untuk mengembangkan wilayah tersebut mulai tahun 1963-1969, dan pada akhir tahun itu orang Papua harus memutuskan apakah akan bergabung dengan Indonesia atau tetap otonom atau tidak.
Frans Kaisiepo adalah seorang politikus Papua dan nasionalis Indonesia. Frans Kaisiepo menjabat sebagai Gubernur Provinsi Papua yang keempat. Pada 1964, Frans Kaisiepo ditunjuk sebagai gubernur menggantikan Eliezer Jan Bonay–sosok antikolonial tapi juga menentang kesewenang-wenangan pemerintah Indonesia atas rakyat Papua sehingga harus kehilangan jabatannya, bahkan ditahan, dan setelah bebas pergi ke Belanda untuk mendukung Organisasi Papua Merdeka hingga wafat tahun 1989. Selama kepemimpinannya, Frans Kaisiepo mengemban misi khusus, yakni: memenangkan Indonesia dalam penentuan pendapat rakyat (Pepera)yang ditetapkan dalam Perjanjian New York tahun 1969. Frans Kaisiepo juga ditunjuk sebagai ketua Penggerak Musyawarah Besar Rakyat Irian Barat yang bertujuan mempersiapkan langkah penyatuan Irian Barat menjelang Pepera.
Secara maraton, Frans Kaisiepo melancarkan kampanye ke seluruh kabupaten: Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, dan Jayapura. Setiap kabupaten diwakili beberapa wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera. Frans Kaisiepo meyakinkan anggota dewan agar memilih Indonesia, alih-alih memerdekakan diri. Dalam pidatonya, Frans Kaisiepo menyampaikan, “Sebagai orang tua dan Bapak Irian Barat ingin menanyakan kepada saudara-saudara sekalian. Apakah saudara-saudara ingin tetap merdeka dalam keluarga besar Republik Indonesia atau tidak? Saya yakin, bahwa saudara-saudara telah mengenal dan mencintai merah putih.”
Comments
Post a Comment